Sunday, April 10, 2022

KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI BIDANG PENYIARAN II (FILM)

 



Film

Film memiliki kekuatan untuk membius dan menanamkan ideologi kepada para audiens. Media ini dinilai sangat efektif karena mampu membawa dan menekankan pesan yang didukung oleh audio visual, sehingga tidak heran bila digunakan pula dalam propaganda kekuasaan dan menandakan bahwa film dan politik saling berkaitan. Film yang dekat dengan masyarakat berusaha memindahkan realitas yang ada di lingkungan ke dalam layar. Film mengandung propaganda karena pembuatan naskah, isi adegan, kata-kata yang diolah sutradara memasukkan ideologi terkait politik. Hal ini digambarkan dengan pengemasan film seolah politik lain digambarkan sebagai sosok negatif dan menimbulkan kekacauan, dimana dengan pengemasan tersebut membentuk pola pikir masyarakat.

Gagasan Regulasi Penyiaran

Regulasi penyiaran di Indonesia ditandai dengan lahirnya UU No. 24 Tahun 1997 mengenai penyiaran. Undang-undang tersebut juga mengatur RRI dan TVRI sebagai lembaga pemerintah yang dikelola di bawah Departemen Penerangan. Gagasan yang melandasi lahirnya UU tersebut yaitu:

Posisi pemerintah yang lebih kuat dibanding posisi publik yang menyebabkan siaran memiliki karakter otoriter.

Bubarnya Departemen Penerangan selaku lembaga regulator penyiaran sehingga regulasi penyiaran tidak dapat diterapkan.

Adanya pergeseran konfigurasi terkait kekuatan ekonomi dan politik setelah rezim orde baru jatuh.

Sistem Penyiaran di Indonesia

Sistem penyiaran oleh berbagai negara memiliki regulasinya masing-masing. Sistem penyiaran memperlihatkan adanya empat teori, yakni:

1. Teori Otoriter, dimana adanya propaganda dari pemerintah kepada audiens

2. Teori Pers Komunis, dimana tidak memperbolehkan golongan lain memiliki penyiaran agar tidak menanamkan ideologi diluar komunis

3. Teori Pers Liberal, memperlihatkan adanya kebebasan dalam penyiaran yang dapat digunakan dan dimiliki oleh siapapun tanpa batasan

4. Teori Pers Tanggung Jawab, teori ini menindaklanjuti dari teori pers liberal yang menunjukkan kebebasan namun tetap diimbangi dengan tanggung jawab.

Sistem regulasi yang digunakan oleh Indonesia pada masa orde baru menghasilkan tiga cara, yaitu:

1. Penyeleksian isi konten ataupun siaran dari TVRI dan RRI

2. Mewajibkan relay televisi swasta kepada TVRI dan RRI

3. Mengajukan izin frekuensi radio dan televisi kepada pemerintah.

Dalam setiap penyiaran yang ada difasilitasi oleh spektrum frekuensi atau saluran. Dengan adanya frekuensi memperlihatkan pertukaran melalui jaringan di udara, sehingga dapat dimiliki oleh kalangan publik tanpa batasan. Kebebasan yang dimiliki oleh seluruh masyarakat terlihat dari UUD dan UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Penyiaran yang dulunya terbatas melalui frekuensi sudah dialokasikan sehingga dapat menyebar sampai ujung dunia, contohnya televisi digital.

Regulasi Penyiaran “Gado-Gado”

Adanya regulasi penyiaran “Gado-gado” yang berhubungan dengan UU No. 32 Tahun 2002 terkait penyiaran, melalui regulasi ini juga berkaitan pada otoritas pemerintah. Dinamakan gado-gado berdasarkan dari sistem pembauran atau campuran yang tidak sinkron dan tidak seimbang, dimana terdapat berbagai pihak atau sistem seperti: demokratis, neoliberal, dan otoriter yang dipaksakan untuk bersatu. 

Dengan perbedaan yang ada tidak memungkinkan terjadinya persatuan, dan penyiaran tidak memiliki arah pasti menganut sistem yang mana dari ketiga tersebut. Dalam regulasi ini berkaitan erat dengan mempertahankan bagiannya masing-masing. Usulan tentang perizinan yang terpisah antara izin frekuensi dan izin siaran menunjukkan keinginan pemerintah untuk mendominasi segala bentuk izin yang sifatnya teknis, materi, atau siaran. Muncul adanya kompromi terkait pengambilan kebijakan materi UU dan tercermin dalam PP bahwa izin frekuensi tetap dikuasai oleh pemerintah, sedangkan izin siaran diwewenangi kepada KPI.

Otoritas perizinan tersebut membuka ruang dominasi kekuatan neo-liberal dalam dunia penyiaran. Pada akhirnya keberadaan media penyiaran swasta komersial menjadi semakin diperhatikan daripada media penyiaran publik dan komunitas. Pemikiran otoriter juga ada dalam usulan keperluan lembaga penyiaran komunitas. KPI dan produk regulasi yang telah dibuatnya pada tahun 2006 selalu ditolak oleh pengelola media penyiaran komersial. 

TVRI diusulkan untuk menjadi BUMN agar dimonitori para profesional media penyiaran neo-liberal yang dianggap efisien dan siap bersaing. Kemudian setelah diperkenalkannya lembaga KPI sebagai badan regulator independen di pusat dan provinsi yang berjaringan akan mampu menghapus model penyiaran nasional sebagai strategi penguatan akses masyarakat lokal dalam berbisnis di bidang penyiaran.


Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca LSPP dan LSAI

Dalam pengkonstruksian ini terdapat dua fase yang berkaitan dengan proses perdebatan RUU Penyiaran (1996). Hal ini diawali dengan fase pengembangan (1987-1996) yang berisi periode pembuatan draft RUU Penyiaran. Lalu dengan penyusunan yang telah dilakukan memicu timbulnya fase perdebatan pada 1996. Dengan fase-fase yang ada, draft regulasi atau RUU yang mengatur terkait penyiaran menghasilkan beberapa pasal, yakni: (1) Peran koordinator dari TVRI, (2) Aturan suatu kelompok untuk tidak diperbolehkannya mendirikan televisi swasta hanya untuk kepentingan suatu pihak, dan (3) Pelarangan televisi swasta dalam menerima bantuan dari organisasi internasional.

Studi Kasus

TVRI jawa barat merupakan stasiun televisi yang dianggap sangat strategis sebagai stasiun yang menjembatani publik jawa barat dengan pemerintah seperti menggunakan program edukasi, seperti dakwah. Kepala stasiun TVRI Jawa Barat mendukung adanya UU pers dan penyiaran, namun dalam aplikasinya, UU ini masih kurang sebab integrasi dalam sosialisasi antar pihak belum terjalin baik.

TVRI tidak hanya bertumpu pada satu segmen saja, ada juga layanan informatif, edukatif, kontrol sosial dan hiburan. Akan tetapi, tetap saja ada faktor yang mendukung dan menghambat dalam pelayanan stasiun televisi seperti SDM yang terlatih dan terampil, peralatan yang memadai, kompetitor yang menjadi daya dorong (faktor pendukung) dan anggaran yang diterima merupakan anggaran pemerintah sehingga memiliki keterbatasan dalam membuat siaran (faktor penghambat).

Daftar Pustaka
Alkhajar, Eka Nada Shofa, dkk. (2013, Desember). Film Sebagai Propaganda di Indonesia. Forum IlmuSosial. 40(2),189-197. 

Intani, Retno. (2013, April). Transformasi LPP TVRI di Tengah Pergolakan Politik dan Struktural. Jurnal Komunikasi. 7,(2),141-161.

"Pengetahuan menciptakan kebisingan. Pemahaman menciptakan keheningan. Kebijaksanaan menciptakan kedamaian." - Sven Schnieders

0 Comments:

Post a Comment

"Ikan Hiu Sudah Jatuh Ketimpa Batu Bata

Makasih Sudah Mengunjungi Website Kita"

Contact Us

Phone :

089512325200

Address :

Jl. Babarsari No.44, Janti, Caturtunggal, Kec. Depok, Kab Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta

Email :

Ariel.rph@gmail.com