Welcome!

RKK Regulasi Kebijakan Komunikasi

View Post Home

About Us

Bermanfaat
Kredibel
Kritis
Who Are We

Kelompok 09

Regulasi Kebijakan Komunikasi

Halo selamat datang dalam blog Jo El Vansya. Perkenalkan kami dari kelompok 09 yang beranggotakan Fremetius Jonathan (200907343), Ariel Rizky (200907182), Ivana Amelia (200907184), dan Natasya Dewi (200907185).

Kami akan berupaya seoptimal mungkin dalam memberikan informasi dan kajian terkait dengan regulasi maupun kebijakan. Dengan demikian, kami berharap agar tulisan yang dibagikan melalui blog ini dapat menjadi sarana pembuka diskusi dan bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih

Services

Kredibel

Kami berupaya menjaga kualitas tulisan dalam blog ini dengan berbagai sumber dan literatur yang kredibel atau dapat dipercaya

Kritis

Kami berusaha untuk melakukan riset kritis yang berhubungan dengan studi regulasi dan kebijakan komunikasi dengan komprehensif

Desain Menarik

Kami berusaha untuk memberikan tampilan menarik pada blog demi menjaga kenyamanan pembaca dalam membaca tulisan

Bermanfaat

Semua tulisan yang kami bagikan melalui blog ini bertujuan untuk memberikan wawasan serta informasi kepada para pembaca dengan selengkap-lengkapnya

Our Blog

KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI BIDANG PENYIARAN II (FILM)

 



Film

Film memiliki kekuatan untuk membius dan menanamkan ideologi kepada para audiens. Media ini dinilai sangat efektif karena mampu membawa dan menekankan pesan yang didukung oleh audio visual, sehingga tidak heran bila digunakan pula dalam propaganda kekuasaan dan menandakan bahwa film dan politik saling berkaitan. Film yang dekat dengan masyarakat berusaha memindahkan realitas yang ada di lingkungan ke dalam layar. Film mengandung propaganda karena pembuatan naskah, isi adegan, kata-kata yang diolah sutradara memasukkan ideologi terkait politik. Hal ini digambarkan dengan pengemasan film seolah politik lain digambarkan sebagai sosok negatif dan menimbulkan kekacauan, dimana dengan pengemasan tersebut membentuk pola pikir masyarakat.

Gagasan Regulasi Penyiaran

Regulasi penyiaran di Indonesia ditandai dengan lahirnya UU No. 24 Tahun 1997 mengenai penyiaran. Undang-undang tersebut juga mengatur RRI dan TVRI sebagai lembaga pemerintah yang dikelola di bawah Departemen Penerangan. Gagasan yang melandasi lahirnya UU tersebut yaitu:

Posisi pemerintah yang lebih kuat dibanding posisi publik yang menyebabkan siaran memiliki karakter otoriter.

Bubarnya Departemen Penerangan selaku lembaga regulator penyiaran sehingga regulasi penyiaran tidak dapat diterapkan.

Adanya pergeseran konfigurasi terkait kekuatan ekonomi dan politik setelah rezim orde baru jatuh.

Sistem Penyiaran di Indonesia

Sistem penyiaran oleh berbagai negara memiliki regulasinya masing-masing. Sistem penyiaran memperlihatkan adanya empat teori, yakni:

1. Teori Otoriter, dimana adanya propaganda dari pemerintah kepada audiens

2. Teori Pers Komunis, dimana tidak memperbolehkan golongan lain memiliki penyiaran agar tidak menanamkan ideologi diluar komunis

3. Teori Pers Liberal, memperlihatkan adanya kebebasan dalam penyiaran yang dapat digunakan dan dimiliki oleh siapapun tanpa batasan

4. Teori Pers Tanggung Jawab, teori ini menindaklanjuti dari teori pers liberal yang menunjukkan kebebasan namun tetap diimbangi dengan tanggung jawab.

Sistem regulasi yang digunakan oleh Indonesia pada masa orde baru menghasilkan tiga cara, yaitu:

1. Penyeleksian isi konten ataupun siaran dari TVRI dan RRI

2. Mewajibkan relay televisi swasta kepada TVRI dan RRI

3. Mengajukan izin frekuensi radio dan televisi kepada pemerintah.

Dalam setiap penyiaran yang ada difasilitasi oleh spektrum frekuensi atau saluran. Dengan adanya frekuensi memperlihatkan pertukaran melalui jaringan di udara, sehingga dapat dimiliki oleh kalangan publik tanpa batasan. Kebebasan yang dimiliki oleh seluruh masyarakat terlihat dari UUD dan UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Penyiaran yang dulunya terbatas melalui frekuensi sudah dialokasikan sehingga dapat menyebar sampai ujung dunia, contohnya televisi digital.

Regulasi Penyiaran “Gado-Gado”

Adanya regulasi penyiaran “Gado-gado” yang berhubungan dengan UU No. 32 Tahun 2002 terkait penyiaran, melalui regulasi ini juga berkaitan pada otoritas pemerintah. Dinamakan gado-gado berdasarkan dari sistem pembauran atau campuran yang tidak sinkron dan tidak seimbang, dimana terdapat berbagai pihak atau sistem seperti: demokratis, neoliberal, dan otoriter yang dipaksakan untuk bersatu. 

Dengan perbedaan yang ada tidak memungkinkan terjadinya persatuan, dan penyiaran tidak memiliki arah pasti menganut sistem yang mana dari ketiga tersebut. Dalam regulasi ini berkaitan erat dengan mempertahankan bagiannya masing-masing. Usulan tentang perizinan yang terpisah antara izin frekuensi dan izin siaran menunjukkan keinginan pemerintah untuk mendominasi segala bentuk izin yang sifatnya teknis, materi, atau siaran. Muncul adanya kompromi terkait pengambilan kebijakan materi UU dan tercermin dalam PP bahwa izin frekuensi tetap dikuasai oleh pemerintah, sedangkan izin siaran diwewenangi kepada KPI.

Otoritas perizinan tersebut membuka ruang dominasi kekuatan neo-liberal dalam dunia penyiaran. Pada akhirnya keberadaan media penyiaran swasta komersial menjadi semakin diperhatikan daripada media penyiaran publik dan komunitas. Pemikiran otoriter juga ada dalam usulan keperluan lembaga penyiaran komunitas. KPI dan produk regulasi yang telah dibuatnya pada tahun 2006 selalu ditolak oleh pengelola media penyiaran komersial. 

TVRI diusulkan untuk menjadi BUMN agar dimonitori para profesional media penyiaran neo-liberal yang dianggap efisien dan siap bersaing. Kemudian setelah diperkenalkannya lembaga KPI sebagai badan regulator independen di pusat dan provinsi yang berjaringan akan mampu menghapus model penyiaran nasional sebagai strategi penguatan akses masyarakat lokal dalam berbisnis di bidang penyiaran.


Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca LSPP dan LSAI

Dalam pengkonstruksian ini terdapat dua fase yang berkaitan dengan proses perdebatan RUU Penyiaran (1996). Hal ini diawali dengan fase pengembangan (1987-1996) yang berisi periode pembuatan draft RUU Penyiaran. Lalu dengan penyusunan yang telah dilakukan memicu timbulnya fase perdebatan pada 1996. Dengan fase-fase yang ada, draft regulasi atau RUU yang mengatur terkait penyiaran menghasilkan beberapa pasal, yakni: (1) Peran koordinator dari TVRI, (2) Aturan suatu kelompok untuk tidak diperbolehkannya mendirikan televisi swasta hanya untuk kepentingan suatu pihak, dan (3) Pelarangan televisi swasta dalam menerima bantuan dari organisasi internasional.

Studi Kasus

TVRI jawa barat merupakan stasiun televisi yang dianggap sangat strategis sebagai stasiun yang menjembatani publik jawa barat dengan pemerintah seperti menggunakan program edukasi, seperti dakwah. Kepala stasiun TVRI Jawa Barat mendukung adanya UU pers dan penyiaran, namun dalam aplikasinya, UU ini masih kurang sebab integrasi dalam sosialisasi antar pihak belum terjalin baik.

TVRI tidak hanya bertumpu pada satu segmen saja, ada juga layanan informatif, edukatif, kontrol sosial dan hiburan. Akan tetapi, tetap saja ada faktor yang mendukung dan menghambat dalam pelayanan stasiun televisi seperti SDM yang terlatih dan terampil, peralatan yang memadai, kompetitor yang menjadi daya dorong (faktor pendukung) dan anggaran yang diterima merupakan anggaran pemerintah sehingga memiliki keterbatasan dalam membuat siaran (faktor penghambat).

Daftar Pustaka
Alkhajar, Eka Nada Shofa, dkk. (2013, Desember). Film Sebagai Propaganda di Indonesia. Forum IlmuSosial. 40(2),189-197. 

Intani, Retno. (2013, April). Transformasi LPP TVRI di Tengah Pergolakan Politik dan Struktural. Jurnal Komunikasi. 7,(2),141-161.

KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI BIDANG PENYIARAN I (RADIO)




Kemunculan SRV

SRV atau Solosche Radio Vereeniging merupakan radio dengan nama Belanda, namun berisikan konten terkait budaya ketimuran. Penggunaan nama dalam bahasa Belanda dikarenakan pada masa tersebut Indonesia masih dalam keadaan dijajah oleh Belanda. SRV hadir sebagai bentuk propaganda Indonesia dengan memasukkan berbagai konten budaya daerah menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. SRV yang berdiri pada 1933 memiliki beberapa program dalam penyiaran, yakni:

1. Pembentukan cabang stasiun radio di luar Solo dengan dibentuknya perkumpulan Radio Ketimuran, dimana hal tersebut terdiri dari kumpulan pendengar radio SRV di beberapa daerah.
2. Pengadaan sarana dan prasarana terkait penyewaan bangunan dan SRV memiliki prasarana canggih yaitu Gedung studio khusus dan alat pemancar.
3. Melakukan penataan program isi siaran terkait budaya ketimuran.

Lembaga penyiaran SRV dan Semangat Sumpah Pemuda mempengaruhi kebijakan isi siaran. Adanya penciptaan kebijakan siaran ketimuran, bila siaran ini akan dilakukan secara terus menerus untuk mempromosikan budaya daerah milik Indonesia. SRV memiliki fokus nasionalisme yang kuat dan memberikan keleluasaan bagi berbagai budaya untuk berkembang.

Lahirnya Radio Republik Indonesia

Pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki membuat Jepang mengakui kekalahannya sehingga berdampak pada media penyiaran di Indonesia, yakni Hoso Kyoku vakum. Kesempatan itu langsung dimanfaatkan oleh mantan pekerja Hoso Kyoku untuk membentuk persatuan radio RI pada 8 studio di Jawa serta menjadi pengawal RI demi kepentingan komunikasi antara pihak pemerintah dengan rakyat dengan mengadakan rapat.

Hasil rapat tersebut tidak bisa berjalan baik karena dari pihak jepang tidak mau memberikan pemancar serta alat siaran Hoso Kyoku kepada Indonesia. hal tersebut menyebabkan adanya rapat lagi untuk membahas 3 pokok permasalahan yakni aspek idiil RRI, aspek struktural, dan aspek program perjuangan. Hasil dari rapat itu, terciptalah 15 butir keputusan yang diambil, dan 8 diantaranya:

1. Tanggal 11 september sebagai hari lahir radio RRI
2. Semua yang hadir dalam rapat dinyatakan sebagai anggota RRI
3. Jakarta dijadikan markas pusat untuk sementara dengan ketua Dr. Abdurachman
4. Cabang-cabang RRI (Jakarta, Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Surabaya)
5. Mengusahakan penyerahan alat siaran dan pemancar Hoso Kyoku dari Jepang
6. Masing-masing studio memiliki kebebasan anggaran
7. Bila terjadi pertempuran dengan Inggris atau belanda, masing-masing studio boleh menggabungkan diri dengan KNI dan pemerintah pusat
8. Masing-masing studio mencari tempat-tempat di luar kota untuk dijadikan tempat-tempat perjuangan.

Lalu juga memunculkan piagam Tri Prasetya pada 11 september 1945 yang berisikan komitmen RRI untuk bersikap netral.

Semua hal yang dilakukan untuk tercapainya kelahiran RRI ini tidak lepas dari peran besar R. Maladi yang merupakan mantan penyiar studio Hoso Kyoku. Atas hal tersebut, Maladi diangkat menjadi menteri penerangan republik Indonesia.

Perkembangan RRI Surakarta

1. Periode Transisi dari Hoso Kyoku Menjadi RRI

Adanya pertemuan yang dipelopori oleh Maladi pada 13 September 1945. Pertemuan yang ada tidak dihadiri oleh para pekerja, melainkan para petingginya guna membahas terkait pernyataan bergabungnya pekerja Hoso Kyoku dalam RRI Surakarta. Hal ini diperkuat melalui penandatanganan dan pengucapan sumpah dari bendera Merah Putih. Pada 27 September 1945 Maladi mendesak Hoso Kyoku Yasaki untuk menyerahkan alat pemancar radio dan menjamin keselamatan Yasakai, Yamamoto dan Kono. Dalam masa ini, RRI memilih wilayah strategis guna memasang alat pemancar, yakni pada daerah Tawangmangu.

2. Persiapan Menghadapi Kemungkinan Perang

Kompleks Gunung Lawu menjadi basis radio gerilya dan kota yang berpusat di Tawangmangu karena lokasinya yang strategis. RRI memiliki gedung studio darurat dan pemancar melalui studio Solo, pemancarnya yaitu: pemancar lama SRV, RCA dan pemancar bekas SRV dari PTT. Pertempuran pada 28 Oktober 1945 membawa keberhasilan memboyong pemancar radio milik Jepang ke Kediri. Alat pemancar yang ada digunakan untuk membantu siaran luar negeri berbasis Radio International Indonesia.

3. Siaran Luar Negeri RRI

Persiapan pemancar di Tawamangu ini dilakukan oleh Abdurachman Saleh dengan membawa pemancar radio dari Bandung ke Jogja dan persiapan latihan siaran luar negeri di Solo oleh Rochmulyati, Winarsih, Winarti ,dan Mieke Saleh pada tahun 1946 untuk menjalankan strategi siaran luar negeri. Lalu juga ada bantuan dari Budiman dan Haiji yang merupakan mantan penyiar radio Hoso Kyoku.

Studi Kasus

Perjuangan RRI Yogyakarta di Masa Revolusi Fisik (oleh Livy Laurens).

RRI Yogya menjadi sasaran pengeboman Tentara Sekutu karena siaran-siaran yang dipancarkan dari RRI Yogya semakin populer. Tentara Sekutu segera mencap RRI Yogya sebagai ekstremis yang harus dihancurkan. Pada tanggal 25 Oktober 1945, dua pesawat pembom Sekutu terbang di atas Yogya untuk menyebarkan selebaran yang berisi ancaman pengeboman dan selang beberapa waktu, mereka benar-benar mengebom gedung RRI Yogya. Setelah dibom beberapa kali oleh Sekutu, para pegawai dan penyiar RRI tidak menyerah begitu saja. Alat-alat yang selamat diamankan dan disembunyikan di beberapa tempat seperti di Puro Pakualaman, asrama CPM Gondolayu, rumah-rumah di Terban Taman, Patangpuluhan, dan Ngadinegaran. Setelah suasana mulai mereda, para angkasawan RRI Yogya mengudara kembali untuk tetap menggelorakan semangat kebangsaan. RRI Yogya juga memakai rumah-rumah nomor 6, 8, dan 10 di Secodiningratan sebagai pengganti dari gedung yang telah dihancurkan Sekutu.

Soekarno-Hatta tergerak untuk memindahkan ibukota RI ke Yogya setelah melihat begitu kuatnya gelora nasionalisme yang terpancar dari Yogya. Sejak 4 Januari 1946, ibukota RI resmi dipindahkan ke Yogya. Karena itu, pusat penyiaran RRI nasional yang semula berada si Solo kemudian dipindahkan ke Yogya. Dengan sendirinya RRI Yogya mempunyai status istimewa karena melayani kepentingan Pemerintah RI yang harus diikuti oleh daerah-daerah lain di seluruh nusantara. Giatnya RRI Yogya waktu itu mendorong kreatifitas untuk berkomunikasi. Atas inisiatif Sri Paku Alam VIII, RRI Yogya, dan Jawatan Penerangan, diadakan kegiatan penyiaran berita via telepon sejak Oktober 1947.

Perjuangan para angkasawan RRI Yogya diuji kembali saat Belanda menyerbu Yogya pada 19 Desember 1948 dan berhasil menguasai Yogya sepenuhnya. Untungnya pada saat itu, sudah ada pemancar rahasia tepatnya di Playen Gunung Kidul. Tetapi kemudian Belanda berhasil merusak alat-alat pemancar di tempat rahasia itu sehingga para petugas pun menyelamatkan diri dan terus bergerilya. Pada 30 Mei 1949, sebulan sebelum ”Yogya Kembali”, atas perintah Kementerian Penerangan dibentuklah panitia radio yang bertugas menerima penyerahan kantor radio dari Belanda.

Daftar Pustaka

Jurnal

Darmanto dan Istiyono. (2013). RRI Surakarta dari Radio Komunitas Menjadi Radio Publik. CV Diandra Primamitra Media dan RRI Surakarta.

Maharani. (2021). Strategi RRI (Radio Republik Indonesia) Palembang Mempertahankan Minat Pendengar di Era Digitalisasi Penyiaran. Publikasi Penelitian Terapan Dan Kebijakan, 4(1), 1-11.

Masduki. (2020). RRI 75 Tahun: Refleksi Radio Politik. Diakses dari https://communication.uii.ac.id/tag/sejarah-penyiaran-indonesia/ Wiryawan, Hari. (2011). Mangkunegara VII dan Awal Penyiaran Indonesia. LPPS, Solo.

Publikasi Pemerintah

RRI. (2002). Sejarah rri yogyakarta. Yogyakarta: PPID LPP RRI. 

"Ikan Hiu Sudah Jatuh Ketimpa Batu Bata

Makasih Sudah Mengunjungi Website Kita"

Contact Us

Phone :

089512325200

Address :

Jl. Babarsari No.44, Janti, Caturtunggal, Kec. Depok, Kab Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta

Email :

Ariel.rph@gmail.com