Welcome!

RKK Regulasi Kebijakan Komunikasi

View Post Home

About Us

Bermanfaat
Kredibel
Kritis
Who Are We

Kelompok 09

Regulasi Kebijakan Komunikasi

Halo selamat datang dalam blog Jo El Vansya. Perkenalkan kami dari kelompok 09 yang beranggotakan Fremetius Jonathan (200907343), Ariel Rizky (200907182), Ivana Amelia (200907184), dan Natasya Dewi (200907185).

Kami akan berupaya seoptimal mungkin dalam memberikan informasi dan kajian terkait dengan regulasi maupun kebijakan. Dengan demikian, kami berharap agar tulisan yang dibagikan melalui blog ini dapat menjadi sarana pembuka diskusi dan bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih

Services

Kredibel

Kami berupaya menjaga kualitas tulisan dalam blog ini dengan berbagai sumber dan literatur yang kredibel atau dapat dipercaya

Kritis

Kami berusaha untuk melakukan riset kritis yang berhubungan dengan studi regulasi dan kebijakan komunikasi dengan komprehensif

Desain Menarik

Kami berusaha untuk memberikan tampilan menarik pada blog demi menjaga kenyamanan pembaca dalam membaca tulisan

Bermanfaat

Semua tulisan yang kami bagikan melalui blog ini bertujuan untuk memberikan wawasan serta informasi kepada para pembaca dengan selengkap-lengkapnya

Our Blog

KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI BIDANG MEDIA CETAK 2

 




Masa Orde Lama

Adanya masa perkembangan pers di Indonesia, yakni demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. Kehidupan pers pada masa liberal berhubungan dengan sistem pemerintahan parlementer dengan paham liberal yang mempengaruhi kebebasan dalam pers. Pers memiliki kehidupan sebagai alat komunikasi politik dan dipandu dalam aturan SIUPP. Kebebasan pers ini membuat setiap orang yang memiliki dana dapat mencetak dan menerbitkan suatu berita. Dengan kebebasan yang terlalu meluas membuat pers menjadi fleksibel dan terbawa dalam arus politik, hal ini mempengaruhi stabilitas politik Indonesia yang menjadi kacau dengan isi saling menjatuhkan hingga penggunaan kata tidak sesuai. Selain itu, terdapat perkembangan pers dalam demokrasi terpimpin, dimana adanya dekrit presiden oleh presiden Soekarno sebagai jalan keluar untuk menertibkan pers. Hal ini ditandai dengan munculnya SIC dan SIT, beserta pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Dengan kehadiran berbagai aturan tersebut mengekang pers, sehingga bagi yang melanggar kebijakan akan dikenakan denda ataupun berdampak hingga pembredelan (Akhmad, 2014, h. 62). Hal tersebut menunjukkan adanya pemerintahan yang otoriter dan berhasil menyetir perputaran pers, sehingga banyak memuat hal berbau politik guna mendukung satu pihak melalui monopoli sumber berita.

Masa Orde Baru

Pada masa ini mengalami kemajuan dalam perkembangan pers yang mendapatkan kebebasan dan bertanggung jawab atas fungsinya melalui pembentukan beberapa regulasi, seperti Undang Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-prinsip Dasar Pers (Hill, 2011, h.34- 35). Kehidupan pers dalam masa ini wajib memiliki SIC dan SIT yang nantinya akan diberikan oleh pihak militer. Dalam hal ini diberlakukannya sensor, dimana setiap percetakan dan penerbitan harus melalui pemerintah sebagai pemberi izin. Hal tersebut membuat masa orde baru ini pers tidak memiliki transparansi, dikarenakan berita terkait pemerintah yang bersifat negatif tidak akan diberikan izin. Kegiatan sensor yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk mempertahankan kekuasaannya dan menjaga pola pikir masyarakat agar tetap memiliki kepercayaan pada pemerintah. Kebebasan pers yang ada mulai diberhentikan pada saat 1978 terkait protes masyarakat golongan mahasiswa terkait pembangunan pemerintahan yang didalamnya berkaitan dengan investor asing. Pers yang memberitakan hal tersebut secara tidak langsung membuka hal negatif pemerintah, dengan itu memicu terjadinya pembredelan dari KOPKAMTIB atas pencabutan izin surat kabar, pers mahasiswa, dan menahan beberapa mahasiswa (Hill, 2011, h. 39).

Masa Reformasi

Era reformasi di Indonesia dimulai sejak bulan Mei 1998 yang sekaligus menjadi saksi berakhirnya kepemimpinan Presiden Republik Indonesia kedua yaitu Soeharto. Era reformasi disebabkan oleh krisis moneter pada tahun 1997. Gerakan reformasi ini memberikan banyak perubahan dalam dunia pers di Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pers Indonesia yang pada awalnya takut untuk menyinggung pemerintahan pada rezim Soeharto kemudian menjadi ikut mendorong adanya gerakan reformasi. Faktor utamanya yaitu krisis ekonomi yang juga menghantam industri pers. Penyediaan kertas koran pun dimonopoli oleh perusahaan koloni Soeharto yang menjadikan industri pers semakin terhimpit dengan keadaan.

Di era reformasi, izin penerbitan surat kabar dan majalah menjadi mudah. Izin penerbitan pada masa ini harus memenuhi tiga syarat yaitu Surat Bukti Pendirian Perusahaan Penerbitan yang pada sebelumnya izin penerbitan harus memenuhi 14 syarat. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dihapuskan pada era ini. Departemen Penerangan yang memiliki kekuatan besar pada masa orde baru untuk menekan dan mengatur pers dihapuskan sebagai upaya untuk mewujudkan kebebasan pers. Dengan dihapusnya departemen tersebut, pers dapat lebih leluasa untuk melaksanakan kegiatan jurnalistik mereka. Selain itu, telah adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dalam Undang-Undang ini dijelaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.

Studi Kasus

Suara Merdeka di Semarang

Masa Orde Lama

Pada awalnya surat kabar Suara Merdeka bernama Soeloeh Rakjat. Pada masa Orde Lama Suara Merdeka telah menghadapi berbagai tantangan seperti misalnya pada ketersediaan kertas yang masih langka. Hal demikian dialami karena pada saat itu kondisi kertas dalam negeri masih sangat mahal dan harus melakukan impor dari luar negeri dengan biaya yang tidak murah. Pada Februari 1965 , pemerintah mengeluarkan peraturan pencabutan izin terbit terhadap surat kabar yang pro terhadap BPS. Hetami sebagai pemimpin dan pemilik perusahaan tersebut lebih bekerjasama dengan tentara. Suara Merdeka juga sempat mengalami pergantian nama menjadi Berita Yudha. Pergantian nama surat kabar Suara Merdeka menjadi Berita Yudha hanya bertahan hingga 11 Juni 1966 dan berganti nama kembali menjadi Suara Merdeka.

Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru dunia pers telah mendapatkan angin segar dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers. Dalam Undang-undang tersebut mengemukakan tentang fungsi dan kewajiban pers serta pada pasal 4 disebutkan mengenai pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu peraturan tersebut perlahan berubah dengan semakin mempersulit kehidupan pers pada masa Orde Baru. Pemerintah mengeluarkan peraturan baru yakni Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang harus dipunyai oleh setiap perusahaan pers. Tujuan dari dibentuknya peraturan ini adalah agar pemerintah dapat mengontrol dan mengawasi kehidupan pers pada masa itu. Suara Merdeka pada Orde Lama lebih sering melakukan penerbitan surat kabar berconding kepada pemerintah. Namun, pada saat terjadi pemilu banyak surat kabar yang mengabarkan terkait dengan partai lain dan hanya Suara Merdeka yang tidak melakukan hal tersebut. Suara Merdeka hanya memberitakan berita perpolitikan di Indonesia agar masyarakat tidak buta informasi dan mengetahui suasana perpolitikan di Indonesia.

Masa Reformasi

Pada masa reformasi Suara Merdeka mengalami penurunan penjualan yang disebabkan oleh adanya krisis moneter. Budi Santoso sebagai pemimpin Suara Merdeka pada saat itu telah melakukan beberapa terobosan agar dapat bertahan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk tetap bertahan seperti misalnya tetap tampil dalam kondisi yang segar dan mengganti motto perusahaan. Motto Suara Merdeka dari “Independen, Objektif Tanpa Prasangka” menjadi “Perekat Komunitas Jawa Tengah.” Adanya pergantian motto tersebut dengan tujuan dapat mempertahankan dan meningkatkan eksistensi surat kabar Suara Merdeka. Terobosan yang telah dilakukan oleh Budi Santoso telah membuahkan hasil. Hal ini ditandai dengan Suara Merdeka menjadi terkenal di kalangan pembaca dan mendapatkan penghargaan sebagai koran terbaik pada 11 Februari 2007, versi Cakram Award.

Daftar Pustaka

Buku

Akhmad. (2014). Perbandingan sistem pers dan sistem pers di Indonesia. Surabaya: Lutfansah Mediatama.

Hill, D.T. (2011). Pers di masa orde baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Jurnal

Zulianto, Atmaja, Suharso. (2016). Perkembangan persurat kabaran suara merdeka di semarang tahun 1950-2005. Journal of Indonesia History, 5(1), 1-9.

KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI BIDANG MEDIA CETAK 1



Era Penjajahan Belanda

Pada masa kolonial Belanda Gubernur Jenderal Van Imhoff menerbitkan surat kabar pertama yang bernama “Bataviasche Nouvelles” yang diterbitkan pada tahun 1774. Surat kabar pertama ini bertujuan untuk menyampaikan aspirasi rakyat dalam menentang kuasa pemerintahan Belanda. Hingga pada akhirnya surat kabar ini hanya bertahan selama dua tahun dan tidak diberi izin untuk berproduksi. Berdasarkan regulasi media cetak masa Belanda diatur melalui undang-undang tahun 1856 serta mengalami perubahan pada tahun 1906. 

Dalam hal ini, setiap karya cetak harus melalui proses seleksi oleh ketua pemerintahan setempat sebelum nantinya diterbitkan. Pada akhirnya kebijakan media yang diterbitkan oleh pemerintahan Belanda terus bertransformasi sampai pada Jepang datang dan menduduki Indonesia di tahun 1942.

Era Penjajahan Jepang

Pemerintah Jepang melalui pemerintahan militer membentuk badan propaganda bernama Sendenbu demi menyita dan mendoktrin hati rakyat. Departemen ini dibentuk pada Agustus 1942 dengan bertanggungjawab atas propaganda serta informasi yang berhubungan dengan pemerintahan sipil yang terpusat di Pulau Jawa. Selain Sendenbu, terdapat sebuah organisasi bernama Keimin Bunka Shidosho atau biasa dikenal dengan “Poesat Keboedajaan” yang dibentuk pada April 1943. 

Tujuan dari organisasi ini adalah untuk menyebarkan kebudayaan Jepang dan memberdayakan seniman Indonesia. Setelah adanya pembentukan organisasi ini, Sendenbu tidak lagi menjalankan propaganda. Tetapi, hanya menyusun rancangan dan bahan propaganda yang dibagikan kepada unit kerja yang bersangkutan.

Jabatan dari seorang seksi propaganda dipercayakan kepada seorang pejabat Jepang yang bernama Shimizu Hitoshi. Ia merupakan seorang propagandis profesional yang sudah memulai karier propaganda di Cina pada tahun 1930-an. Di bawah Shimizu pejabat Sendenbu yang dibagi menjadi dua kategori. Pertama, ahli propaganda secara umum dan bertugas untuk merencanakan. Kedua, terdapat kelompok lain yang terdiri dari spesialis dalam bidang kesenian tertentu atau yang biasa disebut dengan bunka-jin. Staf Sendenbu Indonesia juga terbagi atas dua kategori. 

Orang Indonesia direkrut atas dasar karier sebelum perang, orientasi politik, kedudukan dalam masyarakat tradisional, dan kemampuan pidato yang mumpuni. Di samping itu, para pemimpin politik, pemuka agama, penyanyi, musisi, dan aktor seringkali memobilisasikan operasi propaganda. Para penguasa Jepang sangat cerdik dalam menarik minat rakyat.

Media Propaganda Baru

Media propaganda pada masa perang yang paling penting adalah film. Sebelum Perang Dunia II, bioskop tidak pernah digunakan sebagai alat indoktrinasi di Indonesia. Pada Oktober 1942 terdapat organisasi yang bertugas untuk melaksanakan kebijakan film yang dibentuk dibawah pengawasan Sendenbu. Organisasi ini bernama Jawa Eiga Kosha yang dikepalai oleh Oya Soichi, yang merupakan seorang kritikus Jepang terkemuka dan merupakan staf Sendenbu. 

Tetapi, pada masa kependudukan Jepang mengalami perubahan yang signifikan pada pasaran film di Pulau Jawa. Banyak film yang diimpor dari Jepang dengan total 52 film Jepang setiap tahunnya. Film-film Jepang inilah dipilih dengan sangat hati-hati terkhusus yang dianggap dapat dimanfaatkan sebagai bahan propaganda. Dengan kata lain, film-film yang diimpor mempunyai indoktrinasi politik yang digunakan pemerintah Jepang yang dapat dipertunjukkan bagi penduduk Jawa.

Studi Kasus

Propaganda Jepang terlihat sebelum kedatangannya ke Indonesia. Jepang menyebarkan propaganda menabung melalui surat kabar seperti harian Asia Raya yang diterbitkan di Jakarta. Dalam hal ini, Jepang berusaha untuk membentuk cerita pendek, berita, ataupun pamflet untuk menggiring agar masyarakat Indonesia mau menyisihkan uangnya untuk menabung. 

Dalam surat kabar tersebut berisikan artikel terkait dengan syarat dan ketentuan untuk menabung serta membuat perkumpulan menabung dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Dengan adanya propaganda ini maka akan mengubah pola mengatur uang dari masyarakat Indonesia.

Daftar Pustaka

Buku

Kurusawa, A. (2015). Kuasa Jepang di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Jurnal

Anom, E. (2013). Regulasi dan kebijakan media cetak di indonesia masa zaman penjajah. Jurnal Komunikologi, 10(2), 73-79. Diakses dari https://komunikologi.esaunggul.ac.id/index.php/KM/article/view/132

Brillian, Mufidha. (2014). Menabur Kebiasaan: Propaganda Gerakan Menabung Jepang (1941-1945). Lembaran Sejarah, 11(01), 71-84

 

SISTEM POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK

 



Makna dan Tujuan Kebijakan Komunikasi

Kebijakan komunikasi yang berlaku di Indonesia secara umum dianggap sebagai peraturan yang mengatur proses komunikasi masyarakat, baik yang menggunakan media (mulai dari sosial, media massa, hingga media interaktif) maupun yang tidak menggunakan media, seperti komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok dan sebagainya. Untuk menjamin adanya kelancaran sistem komunikasi, maka harus dibuat peraturan tentang semua proses komunikasi.

Dari sisi sosiologi, tujuan kebijakan komunikasi adalah menempatkan proses komunikasi sebagai bagian dari dinamika sosial yang tidak merugikan masyarakat. Pemerintah membuat kebijakan komunikasinya, dan masyarakatlah yang mengendalikan proses komunikasi yang terjadi. 

Ada beberapa UU yang telah dibuat untuk mengantisipasi berbagai masalah yang akan timbul yang berkaitan dengan bisnis telekomunikasi di Indonesia seperti contohnya UU No. 36 Tahun 1999, UU No. 40 Tahun 1999, dan lain-lain.


Ragam Perspektif Ilmu Politik Tentang Kebijakan

Proses kebijakan komunikasi dilakukan sesuai kebijakan publik melalui lima tahapan. Tahapan pertama, penyusunan agenda yang didalamnya membangun persepsi stakeholders terkait penyelesaian masalah, membangun batasan masalah, serta mobilisasi berupa dukungan terhadap suatu masalah agar dapat dikaji dalam agenda pemerintah (Arbar, 2008:47). Selain itu, dalam tahapan pertama mengkaji lebih dalam pada perumusan masalah menyangkut kepentingan masyarakat luas untuk menentukan situasi problematis serta mencari peluang penciptaan solusi (Arbar, 2008:52). 

Tahapan kedua, adanya formulasi kebijakan yang dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan negara, organisasi, atau masyarakat dan berkaitan dengan sistem komunikasi. Dalam tahapan ini mengatur bagaimana masyarakat berkomunikasi, sehingga perlu diformulasikan menjadi aturan aplikatif dengan memperhatikan aspek isi, struktur, dan budaya hukum (Arbar, 2008:59). 

Tahapan ketiga, pemberlakuan atau adopsi kebijakan, dimana mencakup proses realisasi serta implementasi kebijakan. Melalui adopsi berguna menguji relevansi kebijakan baik untuk digunakan atau tidak.


Dimensi dan Karakter Kebijakan Komunikasi

Terdapat tiga hal penting dalam kebijakan komunikasi menurut Arbar (2008:4) yaitu konteks, domain, dan paradigma. Konteks berarti suatu kebijakan komunikasi berkaitan dengan yang melingkupi dirinya, misalnya politik ekonomi, politik komunikasi, dan sebagainya. Domain kebijakan komunikasi berarti muatan nilai yang dikandung kebijakan komunikasi, seperti globalisasi, ekonomi global dan sebagainya. 

Domain ditentukan oleh konteks. Kemudian paradigma berarti kerangka cita-cita yang kepadanya kebijakan komunikasi itu menuju, seperti terbentuknya masyarakat informasi.


Kebijakan Komunikasi Dalam Media

Teknologi yang mendukung arus komunikasi rupanya turut memberikan beberapa persoalan. Pemerintah mencanangkan beberapa kebijakan dalam UU (Undang-Undang) terlebih pada perfilman dan pers, yakni UU No, 40 Tahun 1999 tentang pers, UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, dan UU No. 8 Tahun 1992 tentang perfilman (Arbar, 2008:83). 

Pada UU No, 40 Tahun 1999 tentang pers berguna dalam menyelesaikan permasalahan dalam lapangan serta mengatur jalannya kegiatan pers. Hal ini dikaitkan dengan Kode Etik Jurnalistik terkait seberapa besar kesalahan dan konsekuensi berupa sanksi yang harus diterima para jurnalis. Selain itu, dalam aturan ini menyoroti kebebasan pers serta perizinan terkait penerbitan berita (Arbar, 2008:84).

Peran Pemerintah dalam Pembuatan Kebijakan Komunikasi

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) No. 9 tahun 2005 tentang pembentukan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dan PP no. 10 tahun 2005 tentang pembagian tugas unit-unit di Depkominfo untuk pembuatan kebijakan komunikasi. Akan tetapi, PP ini memiliki masalah dimana wewenang pejabatnya mirip dengan Komisi Penyiaran Indonesia, padahal keberadaan KPI sudah diatur dalam pasal 31 Tahun 2002, sehingga lewat Mahkamah Konstitusi diadakan judicial review. Kelemahan PP ini adalah pemerintah dapat dengan mudah mendominasi kebijakan pembuatan kebijakan komunikasi. Fungsi Depkominfo dalam membantu presiden ini antara lain:

  1. Merumuskan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang komunikasi dan informasi.
  2. Melaksanakan urusan pemerintah sesuai dengan bidang tugasnya.
  3. Mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya.
  4. Mengawasi pelaksanaan tugasnya.
  5. Menyampaikan laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada presiden.
Studi Kasus

Pada tahun 2002 pemerintah bersama-sama dengan DPR telah mensahkan sebuah bentuk kebijakan komunikasi yang tertuang dalam UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran dimana UU ini telah menghasilkan kebijakan komunikasi yang baru bagi masyarakat. Disatu sisi, Undang-undang ini memang merespon masalah yang dihadapi masyarakat tetapi disisi lain, UU ini menuai kritik dari praktisi media penyiaran maupun kalangan akademisi dimana kritik ini disyaratkan kepada pemerintahan bahwa akan dibawa kemana arah formulasi kebijakan komunikasi di Indonesia.

Daftar Pustaka

Arbar, A. N. (2008). Kebijakan Komunikasi: Konsep, Hakekat dan Praktek. Yogyakarta: Penerbit Gaya Media.


DIMENSI KEBIJAKAN PUBLIK




Kebijakan hadir untuk mengatur pola kehidupan mulai, namun dalam penerapannya turut terdapat beberapa kelompok yang enggan menerimanya. Kebijakan publik menurut Fiedrick (Nugroho, R., 2013:4) merupakan rangkaian yang dibentuk guna mengatasi hambatan ataupun isu yang terjadi, serta mencapai suatu tujuan. 

Dengan adanya kebijakan yang ada juga berpotensi menimbulkan peluang demonstrasi. Selain itu, kebijakan publik juga bergerak sebagai perubahan dari suatu masalah dengan mengikuti tahapan, seperti (Nugroho, R., 2013:5): pengenalan masalah, menentukan agenda setting, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, analisis dan evaluasi kebijakan.

Kebijakan publik memiliki keterkaitan dengan lembaga publik yang merupakan suatu lembaga dari publik, dimana seluruh alokasi dana dan kebutuhan berasal dari publik. Kebijakan publik yang ada di masyarakat memiliki beberapa jenis, yaitu:

1. Kebijakan Formal

Kebijakan formal merupakan kebijakan yang dibuat dan disahkan secara formal. Kebijakan ini memiliki tiga pengelompokan, yakni: regulasi, hukum, dan perundang-undangan. Regulasi sendiri merupakan sesuatu yang berkenaan dengan alokasi aset dan juga kekuasaan negara untuk mengendalikan masyarakat dengan suatu aturan atau pembatasan tertentu. 

Regulasi mempunyai dua prinsip yaitu necessity of the service dan adanya monopoli. Lalu, hukum merupakan aturan yang sifatnya “membatasi” dan “melarang” dengan tujuan menciptakan ketertiban. Perundang-undangan merupakan suatu kebijakan publik yang berkenaan dengan usaha pembangunan nasional yang mempunyai sifat dinamis, mengantisipasi dan memberi ruang bagi inovasi.

2. Kebijakan Konvensi

(Nugroho, R,. 2013:18) Kebijakan konvensi merupakan suatu kebijakan dari kesepakatan umum yang dicanangkan oleh petinggi suatu organisasi publik. Kebijakan ini dibuat oleh kelompok atas dan diterimakan secara bersama-sama, serta dilakukan secara intens. Dengan adanya kebijakan konvensi yang diberlakukan secara intens tersebut mampu membentuk kebiasaan seseorang secara tidak sadar.

3. Pernyataan Pejabat Publik Dalam Forum Publik

Kebijakan ini memiliki nilai eksistensi yang tidak terlalu terlihat seperti kebijakan lainnya, dimana jarang digunakan dalam menanggapi suatu isu. Kebijakan ini seolah mati karena tidak memberikan pengaruh kepada para pejabat publik, dimana banyaknya praktik pelanggaran yang ada dan tetap dibiarkan begitu saja. Pelanggaran atau isu yang kerap terjadi dan tidak dilakukan pembenahan akan dicontoh oleh masyarakatnya, hal ini menimbulkan suatu pemahaman yang dapat diterima bersama sebagai kebijakan konvensi (Nugroho, R., 2013:22).

4. Model-model kebijakan Publik

Ada dua macam model pembentuk kebijakan publik yakni kebijakan elite dan kebijakan pluralis. Kebijakan elite adalah kebijakan yang dibuat oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan tinggi, sementara kebijakan pluralis adalah kebijakan yang dibuat oleh masyarakat. Kebijakan elite banyak dikritik oleh para ahli karena membagi masyarakat ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan ciri-ciri tertentu. Kebijakan ini lebih menguntungkan kepada orang-orang yang berkuasa dan cenderung menindas masyarakat. 

Contoh kebijakan ini terjadi pada zaman orde baru dimana segala kekuasaan negara dipegang oleh orang-orang yang berkuasa dan sifatnya otoriter.

5. Perilaku Kebijakan Publik

Perilaku kebijakan publik menjadi isu yang jarang diangkat sebagai isu kebijakan. Perilaku pejabat publik akan ditiru oleh rakyatnya. Misalnya saja suatu Kepala Daerah melakukan korupsi maka daerah tersebut akan mengembangkan perilaku korupsi tersebut karena dianggap sebagai kebijakan publik secara konvensi.

Hierarki Peraturan di Indonesia

Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hierarki peraturan dalam setiap aktivitasnya. artinya, setiap membuat peraturan baru atau kebijakan tertentu, diperlukan rujukan dari peraturan yang lebih tinggi, yakni UUD 1945. Pembuatan peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Hierarki peraturan tersebut yakni:

a. UUD 1945 (konstitusi)

b. TAP MPR

c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dasar keputusan konstitusi ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, apabila ingin mengajukan banding (judicial review) tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya dan melapor ke Mahkamah Konstitusi tersebut.



Daftar Pustaka

Nugroho, Riant. (2014). Metode Penelitian Kebijakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

"Ikan Hiu Sudah Jatuh Ketimpa Batu Bata

Makasih Sudah Mengunjungi Website Kita"

Contact Us

Phone :

089512325200

Address :

Jl. Babarsari No.44, Janti, Caturtunggal, Kec. Depok, Kab Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta

Email :

Ariel.rph@gmail.com