Welcome!

RKK Regulasi Kebijakan Komunikasi

View Post Home

About Us

Bermanfaat
Kredibel
Kritis
Who Are We

Kelompok 09

Regulasi Kebijakan Komunikasi

Halo selamat datang dalam blog Jo El Vansya. Perkenalkan kami dari kelompok 09 yang beranggotakan Fremetius Jonathan (200907343), Ariel Rizky (200907182), Ivana Amelia (200907184), dan Natasya Dewi (200907185).

Kami akan berupaya seoptimal mungkin dalam memberikan informasi dan kajian terkait dengan regulasi maupun kebijakan. Dengan demikian, kami berharap agar tulisan yang dibagikan melalui blog ini dapat menjadi sarana pembuka diskusi dan bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih

Services

Kredibel

Kami berupaya menjaga kualitas tulisan dalam blog ini dengan berbagai sumber dan literatur yang kredibel atau dapat dipercaya

Kritis

Kami berusaha untuk melakukan riset kritis yang berhubungan dengan studi regulasi dan kebijakan komunikasi dengan komprehensif

Desain Menarik

Kami berusaha untuk memberikan tampilan menarik pada blog demi menjaga kenyamanan pembaca dalam membaca tulisan

Bermanfaat

Semua tulisan yang kami bagikan melalui blog ini bertujuan untuk memberikan wawasan serta informasi kepada para pembaca dengan selengkap-lengkapnya

Our Blog

KEBIJAKAN, HUKUM, DAN REGULASI BIDANG KOMUNIKASI: KONVERGENSI


Konvergensi dan Telematika

Konvergensi telematika merupakan penggabungan dari pembauran teknologi penyiaran dan layanan telekomunikasi. Dalam penggabungan ini memberikan kesatuan yang mendukung hadirnya keuntungan bagi suatu layanan. Konvergensi telematika sudah masif beredar di kehidupan masyarakat, dimana adanya penggabungan dari dua atau lebih media, konten, dan sebagainya yang dikemas sedemikian rupa. Melihat kondisi tersebut, sebagai contoh adanya video streaming, mendengarkan musik, menonton film, dan sebagainya. Hal ini didukung dengan kenaikan angka kepemilikan komputer di Indonesia, melalui adanya kenaikan tersebut mendukung perluasan akses internet dan penggunaan media sosial.

Konvergensi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvergensi diartikan sebagai keadaan yang menuju satu titik pertemuan, pusat. Konvergensi dapat terjadi pada bidang komunikasi yaitu bergabungnya media telekomunikasi tradisional dengan jaringan internet. Ada beberapa aspek konvergensi:

Aspek Teknologi

Konvergensi terjadi pada beberapa bidang komunikasi seperti pada dampak bidang penyiaran Indonesia yang sudah siap untuk menjadi lebih interaktif. Kemudian pada bidang informasi terlihat adanya perkembangan teknologi 5G. Ada dua faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor regulasi dan faktor lainnya (bisnis dan pasar).

Aspek Filosofis Perundang-undangan

Di bidang telekomunikasi, konten tidak diatur karena terdapat peraturan perundangan yang mengatur yakni Undang-Undang No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Di bidang penyiaran, peraturan perundangan yang mengatur yakni Undang-Undang No. 32/2002. Pada bidang teknologi informasi, yang sudah terdapat peraturannya adalah Undang-Undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Telematika

Telematika merupakan singkatan dari telekomunikasi dan informatika, dimana terdapat pertemuan dari beberapa sistem jaringan komunikasi, dimana hal ini berhubungan dengan teknologi dan informasi. Telematika yang mempertemukan jaringan internet memberikan kemudahan dalam sistem komunikasi dengan penyebaran informasi secara masif dalam bentuk audio, visual, maupun audio-visual. Pertemuan dan penggabungan yang ada membuat hadirnya konvergensi teknologi, sehingga mendatangkan berbagai perubahan dengan entitas baru ataupun sama.

Dimensi Konvergensi dan Telematika

Menurut Danrivanto Budhijanto (Djulaeka & Jusmadi, 2013), ada beberapa dimensi yang menjadi penyebab adanya konvergensi telematika. Dimensi tersebut yaitu:

Dimensi pertama yaitu digitalisasi sebagai proses transisi teknologi analog menjadi teknologi digital dan susunan informasi yang awalnya analog menjadi biner.

Dimensi kedua yaitu interaktivitas sebagai pembeda dalam konvergensi teknologi dalam suatu layanan baik itu telekomunikasi atau penyiaran.

Dimensi yang terakhir yaitu kewenangan pengaturan telekomunikasi dan penyiaran dibawah kekuasaan pengatur yang terpisah dan menganut pemisahan regulator untuk telekomunikasi serta penyiaran.

Kebijakan Hukum Konvergensi dan Telematika

Indonesia mempunyai 3 aturan yang berkaitan dengan isu konvergensi telematika, yaitu:

UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang berbunyi "Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum."

UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang berbunyi "(1) Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional. (2) Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Studi Kasus

Keluarnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja pada tanggal 2 November 2020 merupakan rencana dari pemerintah untuk menggabungkan teknologi penyiaran dan teknologi digital. Dahulu, masyarakat menggunakan sistem analog yang bila dihubungkan dengan kondisi zaman ini, sudah terlampaui ketinggalan. Banyak negara maju yang sudah merencanakan sistem ini dari akhir tahun 2012, dan di Indonesia, hal ini baru-baru saja akan dilakukan dan tinggal menunggu waktunya.

Perencanaan ini sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2004 oleh pemerintah. Namun, hal ini tidak berjalan baik karena kandasnya payung hukum yang akan melandasi sistem tersebut. Alhasil, baru pada tahun 2020 pemerintah akan mulai melakukan gebrakan untuk melakukan rencana ini.

Secara praktis, siaran digital dapat memberikan efisiensi dan optimalisasi yang nyata dalam penyiaran, diantaranya kanal siaran yang jumlahnya lebih banyak, infrastruktur penyiaran yang masing-masing cukup menggunakan satu alat untuk banyak siaran akan memberikan kesempatan bagi kanal-kanal yang belum sukses untuk lebih sukses lagi dalam memperoleh penonton.

Daftar Pustaka

Yulianto, T. 2020. Digitalisasi Penyiaran di Indonesia: Urgensi dan Manfaatnya. Diakses pada tanggal 13 Mei 2022 pada https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/digitalisasi-penyiaran-di-indonesia-urgensi-dan-manfaatnya


KEBIJAKAN, HUKUM, DAN REGULASI BIDANG TELEKOMUNIKASI DAN DIGITALISASI PENYIARAN







Telekomunikasi

Telekomunikasi merupakan kegiatan transmisi informasi berbentuk tanda, suara, dan lainnya yang menggunakan sistem elektromagnetik. Telekomunikasi hadir membantu dalam penyampaian informasi tanpa batasan waktu dan ruang. Dalam penyampaian informasi terdapat beberapa teknik, yakni: komunikasi satu arah, komunikasi dua arah, dan komunikasi semi dua arah. Pada prakteknya diatur dalam badan regulasi telekomunikasi, dimana didalamnya menjamin terkait transparansi serta keadilan dalam pengendalian informasi.

Regulasi Telekomunikasi dan Penyiaran

Setiap proses transmisi informasi diatur dalam UU No. 3 Tahun 1989 tentang telekomunikasi. Seiring dengan berjalannya waktu terdapat pergantian regulasi dengan UU No. 36 Tahun 1999. Dengan adanya berbagai perubahan dan regulasi yang ada membuat beberapa sektor telekomunikasi dikuasai oleh pihak asing melalui kepemilikan sahamnya. 

Hadirnya UU Cipta Kerja No.11 Tahun 2020 dipandang sebagai suatu hal yang memancing kontroversi terkait penyiaran. Melalui penyiaran menjadikan salah satu bukti terkait hak publik terkait tata kelola media, dimana terdapat tiga aspek yakni adanya kehadiran lembaga regulator independen KPI, sistem penyiaran lokal, dan lembaga publik yang profesional. Beberapa aspek tersebut mempengaruhi UU Penyiaran dan UU Citra Kerja dikarenakan adanya keseimbangan posisi antara KPI dan Pemerintah. Dalam menjalankan penyiaran yang baik, dimana setiap pelaku penyiaran yang mengajukan izin perpanjangan hanya perlu memberikan pernyataan sanggup mengikuti ketentuan P3SPS.

Digitalisasi Penyiaran

Digitalisasi penyiaran merupakan tahapan kompresi informasi dari analog ke digital. Kompresi yang dilakukan dikemas dalam satu format yang nantinya digunakan untuk mengatur, menerima, menyimpang, atau mendistribusikan informasi dalam satu perangkat. Sistem penyiaran yang ada melalui proses multiplexing dengan penggabungan beberapa sinyal, setiap pengemasan konten digital dipantau melalui aspek kualitas sesuai Standard Definition. Adanya UU Cipta Kerja, memberikan dampak bagi penyiaran Indonesia yang terlihat dari adanya gerakan ASO (Analog Switch-Off) melalui kerjasama digitalisasi dengan memastikan kesiapan masyarakat maupun industri penyiaran.

Digitalisasi Penyiaran di Indonesia

Perjalanan digitalisasi di Indonesia telah dilaksanakan dari tahun 2007. Pada Maret 2007 melalui Peraturan Menteri KOmunikasi dan Informatika No 7 Tahun 2007 mulai ditetapkannya DVB-T. DVB-T mulai melakukan Soft Launching TV di Studio TVRI yang dihadiri oleh Presiden SBY. Disamping itu, Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia telah mengajukan uji materiil terhadap Peraturan Menteri Kominfo No 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Free to Air kepada MA di tahun 2012. Pemerintah juga berusaha untuk memperbaiki teknologi DVB-T generasi ke 2. Pada tahun 2016 LPP TVRI ditugaskan oleh pemerintah untuk melakukan uji coba siaran digital di beberapa kota dan pada tahun 2020 TVRI sudah tersebar di 120 daerah.

Studi kasus

Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mengemukakan bahwa terdapat 22 provinsi yang menyelenggarakan multipleksing. Multiplexing merupakan sebuah teknologi yang memungkinkan untuk melebarkan kanal frekuensi dalam saluran televisi. ATVSI menjelaskan bahwa mereka akan mendukung proses penyelenggaraan ASO sesuai UU Cipta Kerja. Namun, dalam pelaksanaan ASO harus mendapatkan jaminan dari LPS eksisting. Penerapan teknologi televisi digital tentu akan membawa perubahan progresif secara signifikan bagi dunia penyiaran televisi. 

Pertama, dalam hal teknis adanya teknologi penyiaran digital akan memudahkan dalam penataan spektrum frekuensi dan dapat meningkatkan kapasitas jaringan transmisi saluran televisi tambahan. Kedua, dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari kinerja pengelolaan infrastruktur penyiaran.[1] Disamping itu, teknologi digital akan memberikan banyak keuntungan lainnya seperti dunia penyiaran televisi akan menjadi lebih adaptif dan inovatif.

Namun, dalam proses peralihan televisi analog ke digital di Indonesia nyatanya tidak berjalan sesuai yang ditargetkan. Hal ini dipengaruhi oleh ketidakpastian payung hukum terhadap penyelenggaraan penyiaran televisi digital. Mengingat UU NO 32 Tahun 2002 yang merupakan dasar hukum penyelenggaraan sistem penyiaran nasional tidak mampu mengakomodir teknologi digital dalam bidang penyiaran.  

Akibatnya Indonesia mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan negara lainnya dalam bidang penyiaran. Untuk itu, dalam mendukung perkembangan teknologi penyiaran digital pemerintah telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mengeluarkan Peraturan Nomor: 07/P/M KOMINFO/3/2007 tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi tidak Bergerak di Indonesia. 

Peraturan kementerian tersebut telah mengarahkan dan memandu perkembangan penyiaran televisi digital pada masa selanjutnya. Hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 telah mendorong untuk terlaksananya Analog Switch Off dan telah menjadi regulasi konvergensi dari adanya Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dianggap belum mampu untuk menjadi payung hukum dalam penyelenggaraan media penyiaran digital di Indonesia.

Daftar Pustaka

(n.d.). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK. Retrieved June 9, 2022, from https://ppidkemkominfo.files.wordpress.com/2012/11/uu-no-36-tahun-1999-tentang-telek omuniksi.pdf

Budiman, A. (2015). Kesiapan Lembaga Penyiaran Melaksanakan Digitalisasi Penyiaran. Jakarta: Balai Pustaka.

Budiman, A. (2015). Model Pengelolaan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia. Politica, 6(2), 107-122.

KEBIJAKAN, HUKUM, DAN REGULASI BIDANG MEDIA BARU II: ITE


Pengertian UU ITE

Teknologi membantu masyarakat dalam mengelola dan menyimpan informasi. Namun dengan masifnya perkembangan tersebut menimbulkan adanya kejahatan berbasis internet atau cyber crime. Menilai hal tersebut, maka terdapat pembentukan aspek hukum guna mengatasinya, yakni cyber law. Pada hal ini berfokus pada kasus kejahatan seperti hate speech, trademark, copyright, dan lainnya yang berbasis teknologi. Regulasi ini memiliki dua cakupan, yakni penanganan tindak pidana dan pencegahan tindak pidana. Penegakan hukum dikemas dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang UU ITE. Informasi elektronik sendiri merupakan kumpulan data berupa gambar, tulisan, suaram dan lainnya dalam teknologi elektronik. Sedangkan transaksi elektronik merupakan tindakan yang dilakukan atau dioperasikan dalam jaringan komputer dan internet.

Urgensi Revisi UU ITE

Hadirnya Cyber Crime dalam dunia maya menjadi pelanggaran yang dapat merugikan setiap pengguna internet. Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi dan penggunaan internet maka hukum-hukum tradisional dirasa kurang mampu dalam mengantisipasi pelanggaran yang terjadi di dunia maya. Berbagai kejahatan siber yang terdapat di dunia maya merupakan hal yang kompleks, oleh karena itu UU ITE harus mengalami pembaharuan agar pemidanaan menjadi jelas dan jalan keluar sebuah permasalahan. UU ITE perlu diluruskan arahnya agar dapat mengatur tindakan kriminal yang nyata atau jelas berkaitan dengan cyber space.

Konsep Keadilan Restoratif untuk Menangani Kasus ITE

Peradilan pidana dibagi menjadi 3 bentuk menurut Albert Eglash yaitu, retributif, distributif, dan restoratif. Keadilan restoratif memiliki fokus pada restitusi dengan melibatkan korban dan juga pelaku. Keadilan restoratif ini mempunyai tujuan untuk mengamankan reparasi korban dan rehabilitasi pelaku. Konsep dari keadilan restoratif yaitu:

Kepentingan korban yang menjadi utama.

Upaya pemulihan dengan mengutamakan partisipasi pihak bersangkutan.

Mementingkan kondisi sosial dan keamanan.

Pertemuan korban dan pelaku diupayakan agar tercipta dialog penyelesaian.

Dari keadilan restoratif, kemudian muncul victim-offender mediation programmes. Tujuan dari victim-offender mediation programmes yaitu:

Mendukung proses pemulihan korban.

Mendukung pelaku bertanggung jawab secara langsung.

Memuaskan kedua belah pihak.

Mengimbangi siapa yang paling berdampak dari kasus.

Menyetujui jalan keluar bersama.

 


KEBIJAKAN, HUKUM, DAN REGULASI BIDANG MEDIA BARU I: PERLINDUNGAN DATA PRIBADI


Data pribadi

Data pribadi diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi. Perlindungan yang dikukuhkan oleh pemerintah mencanangkan beberapa hal dalam data pribadi yakni keseluruhan yang berkaitan dengan entitas pribadi. Sedangkan dalam RUU PDP juga memaparkan adanya dua sifat data pribadi, yakni umum dan spesifik. Pada data yang bersifat umum meliputi nama, jenis kelamin, kewarganegaraan, dan lainnya. Lalu, pada data bersifat spesifik meliputi informasi kesehatan, data genetik, keuangan, dan lainnya.

Privasi dan perlindungan data pribadi

Perlindungan Data Pribadi (PDP) berkaitan dengan privasi milik seseorang. Dengan adanya privasi tersebut menjadi hal penting dalam perlindungan karena berkaitan dengan hak yang dimiliki tanpa paksaan dari pihak manapun. Hak tersebut memberikan keleluasaan bagi para individu untuk mengelola, menjaga, dan berkuasa penuh atas penentuan nasibnya. Dalam konteks privasi juga memberikan hak bagi setiap individu memiliki hak untuk menentukan terkait pembukaan atau bertukar data pribadi kepada orang lain. Perlindungan data pribadi diposisikan menjadi hal yang perlu untuk dipenuhi sebagai hak. Data pribadi juga diatur dalam Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945 mengenai perlindungan atas diri sendiri dan berhak untuk mendapatkan perlindungan serta pilihan atas hidupnya.

Peraturan Privasi dan perlindungan data pribadi

Peraturan-peraturan yang mengatur tentang privasi dan perlindungan data pribadi di Indonesia (BPHN Kemenkumham RI, 2016, h. 97-124):

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan)

UU perbankan tersebut telah difokuskan pada pada perlindungan privasi atas data pribadi nasabah yang menyimpan atau menggunakan produk bank sehingga mengharuskan memberi data pribadinya. Dengan demikian, privasi nasabah dapat dilindungi dengan diaturnya rahasia bank.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Pasal 22 Undang-undang Telekomunikasi melarang dilakukannya akses ke jaringan dan/atau jasa telekomunikasi atau telekomunikasi khusus tanpa hak, tidak sah, atau dengan manipulasi. Pasal 42 ayat (1) UU Telekomunikasi juga telah menjelaskan bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi merahasiakan informasi yang dikirim dan/atau jasa diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan dan/atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Undang Undang Perlindungan Konsumen)

Pasal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen mempunyai asas pada keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum seperti perlindungan data konsumen.

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE)

PP PSTE ada beberapa pasal yang mengatur perlindungan privasi kerahasiaan data pribadi. Pasal 9 ayat (1) yang menjamin kerahasiaan kode sumber perangkat lunak yang digunakan. Pasal 12 ayat (1) menjamin tingkat layanan dan keamanan informasi terhadap jasa layanan teknologi informasi yang digunakan serta sarana informasi yang diselenggarakan

Materi dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi

Sampai saat ini negara Indonesia belum mempunyai Undang-Undang khusus yang mengatur tentang perlindungan data pribadi. Pemerintah Indonesia masih dalam proses merancang Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Rancangan Undang-Undang ini mengadopsi prinsip dari perlindungan data pribadi internasional. Dalam Rancangan Undang-Undang yang sudah dibentuk, terdiri dari 15 bab dan 72 pasal. RUU Perlindungan Data Pribadi sudah jelas terperinci mengatur ruang lingkup dan materi muatan RUU PDP, antara lain:

Ketentuan Umum


1. Jenis Data Pribadi

2. Hak Pemilik Data Pribadi

3. Pemrosesan Data Pribadi

4. Kewajiban Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi dalam Pemrosesan Data Pribadi

5.Transfer Data Pribadi

6. Sanksi Administratif

7. Larangan dalam Penggunaan Data Pribadi

8. Pembentukan Pedoman Perilaku Pengendali Data Pribadi

9. Penyelesaian Sengketa dan Hukum Acara

10. Kerjasama Internasional

11. Peran Pemerintah dan Masyarakat

12. Ketentuan Pidana

Daftar Pustaka

BPHN Kemenkumham RI. (2016). Naskah akademik rancangan undang-undang tentang perlindungan data pribadi (penyelarasan). Diakses dari https://www.bphn.go.id/dpage/reports/res_nasmispenye 

DEKLARASI GENEVA (KOMITMEN WSIS: WORLD SUMMIT INFORMATION SOCIETY) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

 


Sejarah WSIS (World Summit Information Society)

World Summit Information Society (WSIS) merupakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tahunan terbesar yang diadakan oleh komunitas teknologi informasi dan komunikasi dengan membahas isu, trend, evolusi, dan tantangan era digital. Tokoh-tokoh yang menghadiri forum tersebut yaitu para pemangku kepentingan terkait bidang teknologi informasi dan komunikasi dari berbagai negara di dunia, yaitu pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, akademisi, komunitas dan organisasi. WSIS ini diselenggarakan oleh International Telecommunication Union (ITU), United Nations Development Programme (UNDP) dan United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD) (Kominfo RI, 2020).

WSIS pertama kali diselenggarakan di Geneva, Swiss pada 10 hingga 12 Desember 2003. Tujuan dari diselenggarakan WSIS ini untuk membangun masyarakat yang terpusat, inklusif, dan berorientasi pada pembangunan. Dengan diselenggarakan WSIS ini diharapkan seluruh masyarakat dapat menggunakan, mengakses, menciptakan, serta berbagi informasi dan pengetahuan. Hal ini didasarkan pada tujuan dan prinsip-prinsip Piagam Perserikatan BangsaBangsa (PBB) serta menghormati dan menjunjung tinggi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Kemudian pada 16 hingga 18 November 2005 diselenggarakan WSIS II di Tunis, Tunisia. Pada WSIS II ini membahas mengenai pengulangan pernyataan dukungan tegas kita terhadap Deklarasi Prinsip-Prinsip Geneva dan Rencana Aksi yang diangkat pada WSIS I. Kemudian menegaskan ulang terkait paragraf 4, 5, dan 55 Deklarasi Prinsip-Prinsip Geneva. Dalam hal kebebasan berekspresi dan arus bebas informasi, gagasan-gagasan, dan pengetahuan, sangatlah penting bagi masyarakat informasi dan bermanfaat untuk pengembangan (WSIS, 2005: 62).

Dari WSIS I di Geneva, Swiss 2003 menghasilkan 2 dokumen yang disepakati dan dari WSIS II di Tunis, Tunisia 2005 juga menghasilkan 2 dokumen yang disepakati. Dokumen yang disepakati WSIS I adalah Deklarasi Prinsip-prinsip (Geneva Declaration of Principles) dan Rencana Aksi (Geneva Plan of Action). Sedangkan, dokumen yang disepakati WSIS II ialah Pernyataan/Komitmen Politis (Tunis Commitment) dan Agenda untuk Mewujudkan Masyarakat Informasi (Tunis Agenda for the Information Society).

Pada 2015, ditargetkan terwujudnya ICT literacy (kemampuan TIK) pada 50% penduduk dunia dan 100% pada 2025. Dalam mewujudkan target tersebut, maka dibentuklah Plan of Action WSIS dengan mengumpulkan semua negara anggota untuk hadir dan menuangkan gagasannya (Siswanto, 2012: 82).

Prinsip-Prinsip Deklarasi Geneva

Prinsip Deklarasi Geneva merupakan dokumen yang dikeluarkan dan disepakati oleh WSIS (World Summit Information Society) di Geneva, Swiss pada 10 hingga 12 Desember 2003. Dokumen ini disepakati oleh para perwakilan dari setiap negara di dunia yang saat itu melakukan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) dengan judul “Membangun Masyarakat Informasi: suatu tantangan global dalam Milenium baru”. WSIS berusaha untuk membangun masyarakat informasi yang terpusat pada manusia, inklusif dan berorientasi pada pengembangan, di mana semua orang dapat menciptakan, mengakses, menggunakan, dan berbagi informasi dan pengetahuan.

Tantangan dalam melaksanakan prinsip ini adalah mengendalikan potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk mempromosikan tujuan-tujuan pembangunan sesuai dengan Deklarasi Milenium. Dalam sidang KTT tersebut juga ditegaskan bahwa keuniversalan, keutuhan, saling ketergantungan dan keterkaitan semua hak asasi manusia serta kebebasan fundamental, termasuk hak untuk berkembang. Lalu, ada pernyataan bahwa komitmen terhadap pencapaian pembangunan berkesinambungan dan tujuan pembangunan telah disepakati bersama, seperti yang tercantum di dalam Deklarasi dan Rencana Pelaksanaan Johannesburg dan Konsensus Monterrey, serta hasil-hasil dari KTT PBB yang relevan (Moedjiono, dkk., 2015:17)

Semua orang memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapatnya, bahwa hak ini mencakup kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan berbicara seperti tertuang dalam Artikel 19 Deklarasi HAM sedunia. Lalu, ada penegasan terhadap Artikel 29 HAM Sedunia bahwa setiap orang memiliki kewajiban terhadap komunitas dimana pengembangan pribadi mereka secara penuh dan bebas. Semua pihak yang hadir juga setuju bahwa pengetahuan memiliki peran utama dalam pembangunan masyarakat informasi. Lewat pengetahuan ini, masyarakat membangun teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sepenuhnya dapat membuka kesempatan-kesempatan baru dalam mencapai tingkat ke kemajuan yang lebih tinggi. Perlu disadari pula, TIK selayaknya dianggap sebagai sarana dan bukan sebagai tujuan (Moedjiono, dkk., 2015:18)

Komitmen yang dibangun melalui deklarasi ini dilakukan untuk mengubah kesenjangan digital menjadi peluang digital untuk semua orang dan juga merealisasikan visi bersama terhadap masyarakat informasi untuk diri sendiri dan generasi mendatang. Perkembangan TIK ini juga menyediakan peluang besar bagi perempuan, yang seharusnya menjadi bagian dari integral serta pemeran kunci dalam masyarakat informasi sehingga mampu memberdayakan perempuan dan perannya didasarkan persamaan hak dalam semua lingkungan masyarakat dan setiap proses mengambil keputusan (Moedjiono, dkk., 2015:19).

Masyarakat informasi juga harus membangun perhatian khusus kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan lemah, termasuk para imigran, pelarian dalam pengasingan, pengungsi, pengangguran dan orang-orang yang berkekurangan, minoritas, dan para pengembara serta kebutuhan orang lansia dan cacat. Pemberdayaan terhadap orang miskin diperlukan agar dapat mengakses informasi dan menggunakan TIK guna mendukung usahausaha mereka (Moedjiono, dkk., 2015:2-3)

Kebutuhan teknologi kepada negara-negara berkembang juga mendapat perhatian istimewa dalam sidang tersebut. Solidaritas yang inklusif diperlukan untuk membangun solidaritas yang baru, kemitraan dan kerjasama antar pemerintah dan semua yang berkepentingan, seperti pihak swasta, masyarakat sipil, dan organisasi-organisasi internasional. Pada bagian akhir tidak ada satupun dalam deklarasi tersebut yang harus ditafsirkan sebagai hal mengganggu, menentang, melarang, atau menghina ketetapan Piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan Deklarasi HAM (Hak Asasi Manusia) sedunia, perangkat hukum internasional lainnya, atau hukum nasional yang didasari perangkat hukum tersebut (Moedjiono, dkk., 2015:20).

Dalam prinsip Geneva terdapat beberapa prinsip utama, yakni (Moedjiono, dkk., 2015:21-29):

a. Peran pemerintah dan semua pemangku kepentingan dalam mempromosikan TIK untuk pembangunan: Pemerintah, sektor swasta, masyarakat, PBB dan organisasi internasional lainnya mempunyai tanggung jawab penting dalam pengembangan masyarakat informasi

b. Infrastruktur informasi dan komunikasi: Konektivitas adalah agen pendukung utama dalam membangun Masyarakat Informasi. Infrastruktur, aplikasi jaringan informasi dan komunikasi yang berkembang baik harus disesuaikan dengan kondisi regional, nasional, dan lokal, mudah diakses dan terjangkau. Selain itu, kebijakan TIK haruslah menguntungkan bagi stabilitas, prediktabilitas, dan persaingan di semua tingkatan.

c. Akses ke informasi dan pengetahuan: Semua orang dapat mengakses dan menyumbangkan informasi, pengetahuan, dan ide dalam masyarakat informasi yang inklusif sehingga dapat memunculkan manfaat bagi masyarakat seperti masyarakat yang terdidik, pekerjaan baru, inovasi, peluang bisnis, dan kemajuan ilmu pengetahuan.

d. Peningkatan kapasitas: Setiap orang berkesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk memahami, berpartisipasi aktif, dan mendapatkan manfaat penuh dari TIK karena berdampak pada peningkatan sumber daya manusia dan mencapai pendidikan universal di seluruh dunia.

e. Membangun kepercayaan dan keamanan dalam penggunaan TIK: Hal ini termasuk keamanan jaringan dan informasi, privasi. Selain itu, mencegah juga potensi penggunaan TIK untuk tujuan yang tidak pantas, seperti kriminal dan teroris dengan meningkatkan budaya keamanan siber. Spam merupakan permasalahan yang signifikan bagi para pengguna, jaringan, dan internet secara keseluruhan.

f. Lingkungan yang mendukung: Sangat penting untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan sosial dari berkembangnya TIK. Yang dimaksud adalah lingkungan hukum, peraturan serta kebijakan yang diciptakan oleh pemerintahan yang jauh dari diskriminasi. TIK harus digunakan sebagai alat penting untuk pemerintahan yang baik

g. Aplikasi TIK: Penggunaan dan penyebaran TIK harus bisa memberi manfaat bagi setiap aspek kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga bisa dikatakan, pemanfaatan TIK ini juga penting bagi bidang pemerintahan, kesehatan, pendidikan, pelatihan, pekerjaan, bisnis, pertanian, transportasi, dan lainnya. Aplikasi ini harus dapat diakses oleh semua segmen masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan lokal dalam bahasa dan budaya setempat, serta mendukung pembangunan TIK yang berkelanjutan.

h. Keanekaragaman budaya dan identitas, keragaman bahasa dan muatan lokal: Masyarakat informasi harus dibangun dan mendorong identitas budaya, keragaman budaya, bahasa, tradisi, agama, dan mendorong dialog antar budaya dan peradaban karena ini merupakan warisan bersama umat manusia. Masyarakat Informasi harus memanfaatkan dan melestarikan warisan budaya untuk masa depan dengan semua metode yang tepat, termasuk digitalisasi.

i. Media: Berprinsip dan berpegang pada kebebasan pers, kebebasan informasi, serta prinsip-prinsip independensi, pluralisme, dan keragaman media penting bagi masyarakat informasi sehingga kepemilikan dari media sesuai dengan standar etika dan profesionalitas yang tinggi.

j. Dimensi Etika Masyarakat Informasi: Harus dapat menghormati perdamaian dan menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kebebasan, kesetaraan, toleransi, solidaritas, tanggung jawab bersama serta penghargaan terhadap alam. Dalam pembuatan konten harus menghormati hak asasi manusia dan kebebasan mendasar orang lain, termasuk privasi pribadi, serta hak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama. Semua aktor masyarakat informasi juga harus dapat mengambil tindakan dalam pencegahan terhadap tindakan rasisme, diskriminasi, intoleransi, kebencian, kekerasan, pronografi, dan eksploitasi manusia.

k. Kerjasama internasional dan regional: Untuk mencapai masyarakat informasi yang bersifat global perlu adanya kerjasama internasional dan regional yang efektif antara semua pihak yang terlibat, seperti pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan lembaga internasional. Untuk menjembatani kesenjangan digital, mempromosikan TIK, menciptakan peluang digital, dan memanfaatkan potensi dari TIK diperlukan komitmen terhadap pelaksanaan rencana aksi. Bantuan terhadap negara-negara yang berkembang juga diperlukan.

Masyarakat Informasi

Akhir 2003 menjadi pertemuan puncak World Summit Information Society (WSIS) terkait kesepakatan dunia guna membangun masyarakat informasi. Pembentukan kesepakatan ini menunjukkan pentingnya Teknologi Komunikasi dan Informasi (TKI) dan mendorong dibentuknya masyarakat informasi yang inklusif, terpusat, terpadu, dan semuanya didasari oleh prinsip PBB dengan mengedepankan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Adanya hak asasi tersebut memiliki tujuan utama untuk memberikan kebebasan akses dalam menggunakan maupun mengelola berbagai informasi dan pengetahuan (Moedjiono, dkk., 2015: 17).

Masyarakat informasi sendiri merupakan suatu masyarakat yang didalamnya menggunakan informasi sebagai hal utama dan mendasar, didukung oleh kemajuan teknologi dan internet. Hal ini dikarenakan masyarakat informasi hidup dan menghasilkan informasi, yakni dilakukannya proses produksi, konsumsi, distribusi, serta manipulasi informasi. Semua didukung oleh Trukle (Holmes, D., 2005: 54) yang menyatakan bahwa masyarakat informasi berinteraksi melalui layar komputer guna menciptakan komunikasi virtual menghilangkan batasan ruang dan waktu. Selain itu, masyarakat informasi memiliki pemikiran yang sistematik, dimana menggunakan masa lalu untuk menginterpretasikan masa kini dengan melakukan perbaikan melalui media sehingga mengadaptasi konsep McLuhan “medium is the message” (Webster, F., 2014: 114). Webser turut membagikan karakteristik dari masyarakat informasi, yakni technological, economic, occupational, spatial, dan cultural (Irwansyah, & Habibah, A., 2021: 355).

Implementasi Deklarasi Geneva (Komitmen WSIS) di Indonesia

Indonesia dalam menyikapi hasil yang telah disepakati melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) World Summit Information Society (WSIS) berupaya untuk memberdayakan potensi dan peluang yang tersedia dalam berbagai sektor telekomunikasi baik dalam tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional dan mengutamakan kerjasama kemitraan antar pemangku kepentingan atau multistakeholder. Teknologi informasi yang berkembang demikian pesat tentu akan menjadi sarana penting dan pilar utama dalam proses transformasi Indonesia menjadi negara yang maju. Terlebih lagi, berdasarkan pemaparan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Samuel Abrijani menyatakan bahwa pengguna internet di Indonesia pada 2017 telah mencapai 52 persen yang telah menjadikan Indonesia sebagai pengguna internet terbesar ke-5 di dunia (Kemenkominfo, 2017). Untuk itu, perlu adanya peningkatan infrastruktur teknologi, informasi dan komunikasi agar fasilitas internet dapat menjangkau seluruh wilayah di Indonesia.

Indonesia telah melakukan berbagai tindakan dalam mendukung WSIS sebagai upaya pembangunan berkelanjutan dan ekonomi digital. Beberapa program yang telah dilakukan diantaranya seperti Proyek Palapa Ring, Gerakan Nasional 1000 Startup, UMKM Go Online, Nelayan dan Petani Go Online yang bertujuan untuk mendukung perkembangan ekonomi digital Indonesia. Disamping itu, Indonesia mempunyai program pembangunan serat optik Palapa Ring di daerah 3T (terdalam, terluar dan terdepan) yang diharapkan dapat menghubungkan 540 kabupaten/kota pada 2020. Dengan adanya berbagai program tersebut, Indonesia berfokus pada visi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan mendukung penggunaan sarana teknologi informasi bagi masyarakat di daerah terpencil.

STUDI KASUS

Internet Sehat dan Aman

World Summit Information Society (WSIS) merupakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tahunan terbesar yang berada dalam naungan International Telecommunication Union (ITU) dengan membahas isu, trend, evolusi, dan tantangan era digital. Hadirnya WSIS ini, menimbulkan setiap negara yang tergabung di dalamnya untuk berupaya dalam meningkatkan inovasi dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Dalam mengapresiasi hal tersebut, WSIS memberikan penghargaan bagi proyek maupun program TIK di seluruh dunia yang dinilai dapat berpengaruh signifikan atas keberhasilan dalam meningkatkan TIK dan pembangunan berkelanjutan.

Indonesia sebagai negara yang mempunyai potensi dalam bidang digital berupaya untuk mengeksplorasi sebuah inovasi demi mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi. Pada WSIS FORUM 2017, Indonesia berusaha untuk representasikan langkah transformasi digital dengan adanya program “Internet Sehat dan Aman”. Program ini merupakan diinisiasi oleh ICT Watch. ICT Watch merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam mendukung kebebasan berekspresi dan mengedukasi tantangan yang muncul dalam dunia digital (Zaenudin, 2017).

Dengan adanya program internet sehat diharapkan dapat mengedukasi pengguna internet agar dapat terhindar dari sisi negatif, seperti pornografi, pelecehan seksual, permainan judi, dan lain sebagainya. Hal yang mendasari terciptanya program internet sehat dan aman adalah banyaknya pengguna internet di Indonesia sehingga dengan hadirnya program tersebut diharapkan mampu memberikan nilai lebih bagi perkembangan TIK yang dapat memajukan hidup masyarakat. Disamping itu, Internet dalam penggunaannya seperti pedang bermata dua yang apabila tidak diawasi dan diberikan edukasi terhadap para penggunanya maka akan menyebabkan timbulnya berbagai masalah negatif dalam dunia digital

Dalam gelaran WSIS Prize 2017, melalui program internet sehat dan aman Indonesia berhasil meraih penghargaan dalam kategori Ethical Dimensions of the Information Society. Kategori tersebut menuntut tiga tujuan, seperti misalnya dalam memastikan kualitas pendidikan yang merata dan memberikan kesempatan belajar setara, mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaannya, dan mempromosikan masyarakat yang adil, damai, dan inklusif (Zaenudin, 2017). Dalam hal ini, program internet sehat dinyatakan memenuhi tiga tujuan tersebut. Dengan demikian, program yang telah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional tersebut patut untuk diapresiasi dan perlu untuk disosialisasikan kepada masyarakat dengan tujuan untuk meminimalisir dampak negatif dalam penggunaan internet.

Daftar Pustaka:

Anggi. (2017). Indonesia pamer aksi transformasi digital di WSIS Forum 2017. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informasi.

Holmes, D. (2015). Communication theories: Media, technology, and society. London, UK: Sage.

Irwansyah, & Habibah, A. (2021). Era Masyarakat Informasi sebagai Dampak Media Baru. Jurnal Teknologi dan Informasi Bisnis, 3(02), 350-363. Diakses dari http://jurnal.unidha.ac.id/index.php/jteksis/article/view/255/170

Moedjiono, dkk. (2015). Dokumen hasil sidang: Konferensi tingkat tinggi dunia mengenai masyarakat informasi. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.

iswanto, S. (2012). Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Masyarakat Desa Pantai. Jurnal Studi Komunikasi dan Media, 16(2), 81-110.

Webster, F. (2014). Theories of the information society. London: Routledge.

Zaenudin, A. (2017). Apresiasi PBB Atas Program Internet Sehat Indonesia. Diakses pada 16 Mei 2022, dari https://tirto.id/apresiasi-pbb-atas-program-internet-sehat-indonesiacrfs

KEBIJAKAN KOMUNIKASI: KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK (KIP)

 


Sejarah Lahirnya UU Keterbukaan Informasi Publik

Reformasi 1998 menjadi titik awal lahirnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang didasari oleh kesadaran masyarakat terkait pentingnya suatu informasi. Pembentukan UU KIP berawal dari diskusi masyarakat yang membentuk suatu organisasi guna memperoleh suatu kebebasan informasi secara transparan. Ajuan dari kumpulan masyarakat membentuk gagasan Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP). Adanya amanat Presiden yang membahas KMIP rilis pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mengalami beberapa hal dari perdebatan antara Pemerintah dengan DPR, hingga ketidaksetujuan dari pihak pemerintah atas kata ‘kebebasan’ dan mengalami perubahan judul menjadi RUU Keterbukaan Informasi Publik.

Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia

Keterbukaan informasi publik menjadi suatu sarana masyarakat untuk memperoleh informasi secara jelas tanpa adanya hal yang ditutupi. Disamping itu, dengan KIP memperlihatkan bentuk tanggung jawab dari pemerintah yang mampu menyediakan informasi sesuai dengan kehendak masyarakat secara transparan. Pemberian informasi secara terbuka tersebut juga tetap didasari dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia, yakni Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pada setiap keterbukaan yang ada, masyarakat juga memiliki peranan penting untuk berpartisipasi di dalamnya sebagai pemonitor atau pengawas terkait informasi sehingga menghasilkan tatanan pemerintahan yang baik. Dari hal tersebut mencerminkan keadaan sesuai dengan sistem negara yakni demokrasi, dimana informasi menjadi hak bagi setiap masyarakat yang tidak bisa dihilangkan atau dibatasi.

Tujuan Keterbukaan Informasi Publik

Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik bertujuan untuk memfasilitasi pencapaian hak masyarakat terkait penyebaran informasi. Selain itu, terdapat tujuan lain dari UU KIP, yakni:

1. Hak masyarakat untuk mengetahui rencana pembuatan tata kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik

2. Membangun partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik

3. Membangun keaktifan masyarakat dalam proses pengelolaan badan publik.

4. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik

5. Memahami alasan kebijakan publik yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan memperkaya kehidupan bangsa

6. Meningkatkan manajemen dan layanan informasi lembaga publik yang terjamin

Jenis Informasi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 yang membahas tentang Kebebasan Informasi Publik, informasi publik dibagi ke dalam dua jenis yaitu:

1. Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan

2. Informasi yang dikecualikan:

  • Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan terdiri atas informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, wajib diumumkan serta-merta, dan wajib tersedia setiap saat.
  • Informasi yang dikecualikan sebenarnya tidak boleh bersifat permanen karena merupakan informasi publik.
Peran UU Keterbukaan Informasi Publik

UU KIP memiliki peranan penting baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Dengan adanya UU KIP memberikan ruang bagi masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam pengelolaan tatanan pemerintahan berupa monitoring ataupun kontrol. Partisipasi masyarakat menjadi poin dan fokus utama yang salah satunya dapat diwujudkan dalam kontribusi evaluasi atas perencanaan maupun pelaksanaan program pemerintah, dimana adanya peluang besar dalam memberikan saran dan kritik.

UU Keterbukaan Informasi Publik: Kebijakan Komunikasi

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjadi sebuah kebijakan komunikasi, yaitu:

a. Kebijakan komunikasi diwujudkan dengan tujuan melancarkan sebuah sistem komunikasi.

b. Salah satu sistem komunikasi yang dilancarkan dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP yaitu komunikasi pada dimensi organisasi. Diperlukan adanya suatu kebijakan dan regulasi tentang informasi yang kemudian akan memunculkan kebebasan untuk mengetahui informasi dan badan publik.

c. Terdapat tiga bagian penting dalam kebijakan komunikasi, yaitu konteks, domain, dan paradigma.

Studi Kasus

Studi kasus yang diambil adalah ketidak transparan dalam pengadaan gorden di rumah jabatan anggota dewan. Sesuai dengan UU no 14 tahun 2008 tentang KIP dan perpres no. 12 tahun 20e1 tentang perubahan atas perpres no 16 tahun 2018 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, tetap banyak kritik yang mempertanyakan tentang hal tersebut. Dana puluhan miliar yang digelontorkan dalam proyek ini banyak dipertanyakan masyarakat dikarenakan seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan masyarakat. Adanya ketidakterbukaan akan memicu rasa tidak percaya dan curiga dari publik terhadap pemerintah sehingga akan sangat rentan dan berbahaya bagi kelangsungan integrasi negara. Keterbukaan Informasi Publik merupakan hal yang sensitif, terlebih ketika ada suatu hal yang melenceng dari KIP terjadi, media akan terus-terusan menyoroti hal tersebut dan menuai berbagai reaksi dari masyarakat.

Daftar Pustaka

Sastro, D.A., dkk. (2010). Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta:Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.


KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI BIDANG PENYIARAN III (PENYIARAN PUBLIK)

 


Kontroversi Sistem Penyiaran Indonesia

Kontroversi dalam penyiaran Indonesia mempengaruhi perubahan bentuk televisi nasional menjadi penyiaran publik. Perubahan terlihat dari Undang-Undang No. 24 tahun 1997 yang mengalami rombakan dari segi fokus antara pemerintah dan pemilik modal. Selain itu, rombakan juga dipengaruhi dari bubarnya departemen penerangan serta pergeseran konfigurasi kekuatan ekonomi dan politik. Perubahan tersebut didasari dari sikap yang terlalu condong kepada pemerintah, dimana adanya campur tangan wakil politik dalam setiap penyiaran. Untuk itu, KPI memberi masukan pada UU penyiaran yang baru dengan keberagaman siaran dan kepemilikan modal. 

Perancangan UU penyiaran Indonesia turut mengadakan diskusi terkait pencabutan UU No. 24 tahun 1997, dimana menjadikan TVRI serta RRI sebagai BUMN. Pada 4 September 2002 menghasilkan fraksi yang mendukung masukan terkait perubahan RUU, hal ini dikarenakan adanya anggapan bila UU memiliki kekuatan otoriter dan dengan pembubaran departemen penerangan sebagai regulator TVRI dan RRI menjadi lembaga penyiaran publik. Diskusi lanjutan menunjukkan pernyataan sikap atas pencantuman badan penyiaran TVRI dan RRI, hal ini memunculkan anggapan diskriminatif dan menjadi konspirasi anggota DPR, pemerintah dan pemilik modal.

Bentuk Lembaga Penyiaran

Dalam rapat yang dilakukan oleh Chairul Zen (Direktur Televisi) dengan komisi I DPR pada 16 November 1999, disampaikan bahwa TVRI dan RRI diusulkan menjadi lembaga penyiaran publik. Sejalan dengan usulannya tersebut, maka perlu beberapa persiapan yaitu, TVRI harus didanai oleh publik, dikontrol oleh masyarakat, dan acara siaran harus diarahkan untuk kepentingan masyarakat. Salah satu anggota komisi I DPR mengkhawatirkan ide yang diusulkan tersebut, bahwa kepentingan bangsa dan penyiaran yang membela pemerintah menjadi hilang keberadaannya. Kemudian, munculah ide untuk menjadikan TVRI dan RRI sebagai lembaga komersial atau media swasta dengan tiga pertimbangan, yaitu:

1. Sektor swasta oleh hasil pembangunan semakin kokoh dan memerlukan industri media sebagai pihak yang mendukung promosi jasa


2. Media dikelola oleh swasta lebih efisien, kompetitif dan berorientasi pada kepentingan khalayak yang merupakan pasar mereka


3. Ada perubahan yang terjadi yaitu paradigma dari product oriented ke market oriented.

Status TVRI dan RRI

Status TVRI dan RRI direalisasikan dalam UU No. 32 Tahun 2002 dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Publik Radio Republik Indonesia dan juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia.

TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik

Melalui pembubaran departemen penerangan membuat TVRI dan RRI sebagai suatu perusahaan jawatan. Dengan posisi yang baru membuat TVRI dan RRI lebih fokus menjaga eksistensinya dengan memperkuat perlindungan hukum serta memastikan agar lembaga ini berjalan dengan semestinya sebagai penyiaran atau layanan publik. 

Hal tersebut terlihat dari bagaimana lembaga ini menjadi penghubung antara pemerintah dan masyarakat, sehingga melalui LPP mampu berbagi informasi serta mengubah tatanan sosial masyarakat. Dengan aturan dan perlindungan yang ada turut memperhatikan setiap konten ataupun agenda yang akan disiarkan pada masyarakat. UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran turut menegaskan bahwa LPP bersifat independen, tidak mencari keuntungan apapun, dan netral.

Studi Kasus

Contoh studi kasus yang sesuai dengan topik pembahasan ini adalah penggabungan media penyiaran publik RRI dan TVRI dimana keduanya memang secara langsung berkontribusi dalam menjaga NKRI melalui siaran-siarannya yang tentu penting bagi publik. Misal saja dari siaran tentang pengetahuan kenegaraan, budaya dan sebagainya. Akan tetapi, eksistensi TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik mulai ditinggalkan karena banyaknya stasiun TV swasta yang tentu memproduksi konten komersial. 

Oleh karena itu, DPR RI pada tahun 2014 menggabungkan RRI dan TVRi menjadi satu lembaga utuh melalui Rancangan Undang-undang Radio dan Televisi Republik Indonesia (RTRI). Penggabungan ini dilakukan juga agar lebih mudah menerapkan teknologi digital dan siaran yang lebih canggih sehingga dapat menyajikan konten-konten yang tidak kalah saing dari lembaga penyiaran swasta. Penggabungan ini merupakan contoh kasus yang apabila serius diterapkan, akan membawa perubahan positif bagi TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran nasional.

Daftar Pustaka

Masduki. (2007). Regulasi Penyiaran Dari Otoriter ke Liberal. LKiS : Yogyakarta.

"Ikan Hiu Sudah Jatuh Ketimpa Batu Bata

Makasih Sudah Mengunjungi Website Kita"

Contact Us

Phone :

089512325200

Address :

Jl. Babarsari No.44, Janti, Caturtunggal, Kec. Depok, Kab Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta

Email :

Ariel.rph@gmail.com